Ilmu pengetahuan teknologi dan kemiskinan

Rumusan Masalah
  1. Ilmu pengetahuan
-          Pengertian ilmu pengetahuan.
-          4 hal sikap yang ilmiah.

2. Teknologi
-     Pengertian teknologi.
-     Ciri-ciri fenomena teknik pada masyarakat.
-     Ciri-ciri teknologi barat.

3. Ilmu pengetahuan, teknologi,dan nilai
-     Pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai.

4. Kemiskinan
-     Pengertian kemiskinan.
-     Ciri-ciri manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan.
-     Fungsi kemiskinan.


Tujuan Masalah
Untuk mengkaji kemampuan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan guna memanfaatkan sumber daya alam, dan mengkaji peranan teknologi dalam mengatasi kemiskinan.

Manfaat
Dapat memahami dan menghayati kenyataan yang di wujudkan oleh adanya kemiskinan, serta memahami dan menghargai kemampuan manusia memanfaatkan sumber daya alam untuk membasmi kemiskinan, dan memahami sistem ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya alam.
















Ilmu pengetahuan teknologi dan kemiskinan
Judul” Ilmu pengetahuan,teknologi,dan kemiskinan” memberi petunjuk adanya sesuatu yang inheren, mungkin permasalahannya ialah adanya kontinuitas dan perubahan, harmoni atau disharmoni. Tidak mustahil ketiga masalah ini akan melihat masa lampau atau masa depan yang penuh dengan ketidak pastian,dan dapat melibatkan perdebatan semantika.

Ilmu pengetahuan lazim di gunakan dalam pengertian sehari hari, terdiri dari dua kata “ilmu” dan “pengetahuan” , yang masing masing memiliki identitas sendiri-sendiri. Dalam membicarakan pengetahuan saja akan menghadapi berbagai masalah seperti kemampuan indera dalam mengalami fakta pengalaman dan dunia realitas, hakikat pengetahuan,kebenaran,kebaikan,membentuk pengetahuan,sumber pengetahuan,dsb. Kesemuanya telah dipersoalkan oleh para ahli filsafat seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, dimana teori merupakan cabang atau sistem filsafat. Oleh J.P. Farrier, dalam institutes of metaphisics (1854), pemikiran tentang teori pengetahuan itu di sebut “epistemologi” (epistem = pengetahuan, logos = pembicaraan/ilmu). Keperluan sekarang adalah pengetahuan ilmiah yang harus ditingkatkan karena pengetahuan, perbuatan, ilmu, dan etika makin saling bertautan. Berulang kali harus diambil keputusan dalam menerapkan secara prkatis pengetahuan ilmiah. Semuanya itu memperlihatkan suatu perpaduan dari pertimbangat moral ilmiah. Dalam hal ini dipertanyakan bagaimana mengkaji kemampuan manusia mengembangkan ilmu pengetahuan guna memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana memanfaatkan sumber daya untuk membasmi kemiskinan.

Teknologi dalam penerapan sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa depan cerah, kepercayaan sudah mendalam. Sikap demikian adalah wajar, asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab teknologi, selain mempermudah kehidupan manusia. Mempunyai dampak sosial yang sering lebih penting artinya dari pada kehebatan teknologi itu sendiri. Schumachet, dalam kecil itu indah, dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapi tiga krisis sekaligus. Pertama, sifat kemanusiaan berontak terhadap pola-pola politik, organisasi, dan teknologi yang tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakan napas dan melemahkan badan.
Kedua, lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa. Ketiga, penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan, seperti bahan bakar, fosil, sedemikian rupa sehingga akan terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut. Oleh karena itu dipertanyakan, bagaimana peranan teknologi dalam usaha mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta mempengaruhi hasilnya.
            Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai perjuangan yang akan memperoleh kemerdekaan bangsa dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Hal itu sudah sejak lama oleh sarjana ekonomi di banyak negara digeluti dan dipecahkan, dan setiap kali pula pemecahannya lolos dari genggaman,dan berkembang menjadi masalah baru. Berbicara tentang masalah kemiskinan akan dihadapkan kepada persoalan lain, seperti persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok, posisi manusia dalam lingkungan sosial, dan persoalan yang lebih jauh; bagaimana ilmu pengetahuan(ekonomi) dan teknologi memanfaatkan sumberdaya alam untuk membasmi kemiskinan.
            Ilmu pengetahuan, teknologi, dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang tidak dapat dibebaskan dan dipisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi, interelasi,interdependensi,dan remifikasi (percabangan).
Dengan demikian wajarlah apabila menghadapi masalah yang kompleks ini, memerlukan studi mendalam dan analisis interdispliner kalau tidak mau mencapuradukkan unsur-unsur sintesis dengan sintesisnya sendiri.
            Maka usaha mulia berikutnya adalah untuk membuatnya operasional dalam rangka social engineering-nya. Oleh sebab itu tulisan ini hanyalah bersifat penjajagan problema, kalau mungkin sampai mencari interelasi, interaksi, interdependensi, dan ramifikasi dari berbagai unsur sistem dan subsistem.
1.   Ilmu pengetahuan
Di kalangan ilmuan ada keseragaman pendapat, bahwa ilmu itu selalu tersusun dari pengetahuan secara teratur, yang diperolrh dengan pangkal tumpuan (objek) tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum, dan akumulatif. Pengertian pengetahuan sebagai istilah filsafat tidaklah sederhana karena bermacam –macam pandangan dan teori (epistemologi), di antaranya pandangan Aristoteles, bahwa pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi. Menurut Decartes ilmu pengetahuan merupakan serba budi; oleh Bacon dan David Home diartikan sebagai pengalaman indera dan batin ; menurut Immanuel Kant pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman; dan teori phyroo mengatakan, bahwa tidak ada kepastian dalam pengetahuan. Dari berbagai macam pandangan tentang pengetahuan diperoleh sumber-sumber pengetahuan berupa ide, keyataan, kegiatan akal-budi, pengalaman, sintesis budi, atau meragukan karena tak adanya sarana untuk mencapai pengetahuan yang pasti.
Untuk membuktikan apakah isi pengetahuan itu benar, perlu berpangkal pada teori-teori kebenaran pengetahuan . teori pertama bertitik tolak adanya hubungan dalil, dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil(proposisi) itu mempunyai hubungan dengan dalil (proposisi) yang terdahulu. Kedua, pengetahuan itu benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan. Teori ketiga menyatakan, bahwa pengetahuan itu benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
                Banyaknya teori dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan suatu definisi ilmu pengetahuan akan mengalami kesulitan. Sebab, membuat suatu definisi dari definisi ilmu pengetahuan yang dikalangan ilmuan sendiri sudah ada keseragaman pendapat, hanya akan terperangkap dalam tautologis (pengulangan tanpa membuat kejelasan) dan pleonasme atau mubazir saja.
            Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan dalam penelitian, meliputi objek material sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh. Serta objek formal, yaitu sudut pandang yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian. Langkah-langkah dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian dan tindakan. Dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk sistemasi,kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara berpikir analisis, sintesis, induktif, dan deduktif. Yamh terakhir ialah pengujian kesimpulan dengan meghadapkan fakta-fakta sebagai upaya mencari berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
            Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah. Bukan membahas tujuan ilmu, melainkan mendukung dalam mencapai tujuan ilmu itu sendiri, sehingga benar-benar objektif, terlepas dari prasangka pribadi yang bersifat subjektif. Sikap yang bersifat ilmiah itu meliputi empah hal :
a.       Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
b.      Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan terhadap hipotesis yang ada.
c.       Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
d.      Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori, maupun aksioma terdahulu telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalahan ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta sikap ilmuan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. Ilmu pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic meliputi segala usaha penelitian dasar dan terapan serta pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara praktis pegetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagai pengunaan sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan produksi bahan-bahan, cipta rencana sistem metode atau proses yang berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya (Bachtiar Rifai, 1975)
            Dalam menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut. Perlu diperhatikan hambatan sosialnya. Bagaimana konteksnya dengan teknologi, dan kemungkinan untuk mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral dan ilmiah. Sebab manusia tidak selalu sadar akan hal ini, dan manusia yang paling sederhana pun hanya menerima informasi mengenai kemungkinan yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
            Contoh sederhana tapi mendalam terjadi pada masyarakat mitis. Dalam masyarakat tersebut ada kesatuan dari pengetahuan (mitis) dan perbuatan (sosial), demikian pula hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban setiap individu sudah terang. Argumen ontologis, kalau meminjam teori plato, artinya berteori tentang wujud atau hakikat yang ada. Keadaan sekarang sudah berkembang sehingga manusia sudah mampu membedakan antara ilmu pengetahuan dengan etika dalam suatu sikap yang dapat dipertanggungjawabkan.
            Alasan lain untuk mengintegrasi kedua bidang tersebut ialah karena dalam perkembangan ilmu-ilmu modern, pengetahuan manusia telah mencapai lingkupnya yang paling luas, dimulai dengan pikiran ontologis, kemudian mengambil jarak terhadap alam sekitarnya. Alam dipelajari, direnggut, dan digauli, rahasia-rahasianya dimanfaatkan bagi manusia. Timbul kesan seolah-olah pengetahuan ilmiah merupakan suatu tujuan sendiri (ilmu demi ilmu). Bahkan ada ilmu pengetahuan murni, jadi lepas dari apa yang ada di luar ruang lingkup ilmu, lepas dari masyarakat dan hidup sehari-hari. Di sini manusia berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kebaikan dan kejahatan, kesadaran politik, nilai-nilai religius, dan sebagainya. Oleh pandangan ini, kaidah etis beserta nilai-nilainya dicap sebagai soal-soal ekstra ilmiah (diluar bidang ilmu).
            Sekarang tidak dapat netral dan bersikap netral lagi terhadap penyelidikan ilmiah. Karena manusia hidup dalam satu dunia, hasil ilmu pengetahuan dapat membawa keoada malapetaka yang belum pernah kita bayangkan sehingga perlu etika ilmu pengetahuan sebagai satu-satunya jalan keluar. Lebih lanjut diakui oleh filsafat modern. Bahwa manusia dalam pekerjaan ilmiahnya tidak hanya bekerja dengan akal budinya, melainkan dengan seluruh eksistensinya, dengan seluruh keadaannya, dengan hatinya, dengan pancainderanya sehingga manusia, dalam mengabil keputusannya, membuat pilihannya terlebih dahulu mendapat pertimbangan dengan ajaran agama, dan nilai-nilai atau norma kesusilaan. Konteks ilmu dengan ajaran agama dalam rangka meningkatkan ilmuan itu sendiri sejajar dengan orang-orang yang beriman pada derajat yang tinggi, sebagai pemegang amanat, dan akan tetap memperoleh pahala.
            Ilmu pengetahuan sekarang menghadapi kenyataan kemiskinan, yang pada hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari kaitannya dengan ilmu ekonomi karena kemiskinan merupakan persoalan ekonomi yang paling elementer, dimana kekurangan dapat menjurus kepada kematian. Tetapi di lain pihak ekonomi sekarang berada pada puncak kegemilangan intelektual, banyak menggunakan penilaian matematis dan usaha pembuatan model matematisyang merupakan usaha yang amat makmur (American Economic Association). Dalam hal ini tentu ekonomi perlu menyajikan analisis yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dengan bermacam-macam kadar asumsinya,sebab, apabila bertentangan dengan nilai-nilai atau etika yang hidup dalam masyarakat dan model-model yang dibangunnya tidak relevan, akan memberi kesan sebagai suatu ilmu yang mengajarkan keserakahan.
            Maka sebagai gantinya dapat disodorkan apa yang disebut ekonomika etik (Prof. Dr. Ace Partadiredja, “Ekonomik Etik”, pada pengukuran Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, yogya, 1981).

2.   TEKNOLOGI

Dalam konsep yang pragmatis dengan kemungkinan berlaku secara akademis dapatlah dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge), dan teknologi sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubung dengan proses produksi, menyangkut cara bagaimana berbagai sumber, tanah, modal, tenaga kerja dan keterampilan dikombinasikan untuk merealisasi tujuan produksi. “Secara konvensional mencakup penguasaan dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi sosial, terutama teknologi sosial pembangunan(the social technology of development) sehingga teknologi itu adalah metode sistematis untuk mencapai setiap tujuan insani,”(Eugene Staley, 1970).
            Dari batasan di atas jelas, bahwa teknologi social pembangunan memerlukan semua science dan teknologi untuk dipertemukan dalam menunjang tujuan-tujuan pembangunan, misalnya perencanaan dan programni pembangunan, organisasi pemerintah dan administrasi negara untuk pembangunan sumber-sumber insani ( tenaga kerja, pendidikan dan latihan), dan teknik pembangunan khusus dalam sektor-sektor seperti pertanian,industri, dan kesehatan.
            Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudul “The Technological Society”(1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik, meskipun arti atau maksudnya sama. Menurut Ellul istilah teknik digunakan tidak hanya untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya, melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang aktivitas manusia. Batasan ini bukan bentuk teoritis, melainkan perolehan dari aktivitas masing-masing dan observasi fakta dari apa yang disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi teknik menurut Ellul adalah berbagai usaha,metode dan cara untuk memperoleh hasil yang sudah distandardisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
            Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasiona.
b.      Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
c.       Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu mengelimkinasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
d.      Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
e.       Monisme, artinya semua teknik bersatu,saling berinteraksi dan saling bergantung.
f.       Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi,bahkan dapat menguasai kebudayaan.
g.       Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip-prinsip sendiri.
Teknologi yang berkembang dengan pesat, meliputi berbagai bidang kehidupan manusia. Masa sekarang nampaknya sulit memisahkan kehidupan manusia dengan teknologi, bahkan sudah merupakan kebutuhan manusia. Awal bergantung dari ilmu, sekarang ilmu dapat pula bergantung dari teknik. Contohnya dengan berkembang pesatnya teknologi komputer dan teknologi satelit ruang angkasa, maka diperoleh pengetahuan baru dari hasil kerja kedua produk teknologi tersebut. Luasnya bidang teknik, digambarkan oleh Ellul sebagai berikut :
1.      Teknik meliputi bidang ekonomi, artinya teknik menghasilkan barang-barang industri.
Dengan teknik, mampu mengkonsentrasikan kapital sehingga terjadi sentralisasi ekonomi. Bahkan ilmu ekonomi sendiri terserap oleh teknik.
2.      Teknik meliputi bidang organisasi seperti administrasi, pemerintahan, manajemen, hukum dan militer. Contohnya dalam organisasi negara, bagi seorang teknik negara hanyalah merupakan ruang lingkup untuk aplikasi alat-alat yang dihasilan teknik. Negara tidak sepenuhnya bermakna sebagai ekspresi kehendak rakyat, tetapi dianggap perusahaan yang harus memberikan jasa dan dibuat berfungsi secara efisien. Negara tidak lagi berurusan dengan keadilan sosial sebagai tumpuannya, melainkan menurut ahli teknik negara harus menggunakan teknik secara efisien.
3.      Teknik meliputi bidang manusiawi, seperti pendidikan,kerja,olahraga, giburan dan obat-obatan. Teknik telah menguasai seluruh sektor kehidupan manusia, manusia semakin harus beradaptasi dengan dunia teknik dan tidak ada lagi unsur pribadi manusia yang bebas dari pengaruh teknik.
Pada masyarakat teknologi, ada tendensi bahwa kemajuan adalah suatu proses dehumanisasi secara perlahan-lahan sampai akhirnya manusia takluk pada teknik.
            Teknik-teknik manusiawi yang dirasakan pada masyarakat teknologi, terlihat dari kondisi kehidupan manusia itu sendiri. Manusia pada saat ini telah begitu jauh dipengaruhi oleh teknik. Gambaran kondisi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Situasi tertekan. Manusia mengalami ketegangan akibat penyerapan teknik-teknik mekanisme-mekanisme teknik. Manusia melebur dengan kemanisme teknik, sehingga waktu manusia dan pekerjaannya mengalami pergeseran. Peleburan manusia dengan mekanisme teknik, menurut kualitas dari manusia, tetapi manusia sendiri tidak hadir di dalamnya atau pekerjaannya.
Contoh pada sistem industri ban berjalan, seorang buruh meskipun sakit atau lelah atau pun ada berita duka bahwa anaknya sedang sekarat dirumah sakit, mungkinpekerjaan itu tidak dapat ditinggalkan sebab akan membuat macet garis produksi dan upah bagi temannya. Keadaan tertekan demikian, akan menghilangkan nilai-nilai sosial dan tidak manusiawi lagi.
2.      Perubahan ruang dan lingkungan manusia. Teknik telah mengubah lingkungan manusia dan hakikat manusia. Contohnya yang sederhana manusia dalam hal makan atau tidur tidak ditentukan oleh lapar atau ngantuk tetapi diatur oleh jam.
Alat-alat transfortasi telah mengubah jarak pola komunikasi manusia. Lingkungan manusia menjadi terbatas, tidak berhubungan dengan padang rumput,pantai pohon-pohon atau gunung secara langsung, yang ada hanyalah bangunan tinggi yang padat, sehingga sinar matahari pagi hari(anyak mengandung ultra violet)tidak sempat lagi menyentuh permukaan kulit tubuh manusia.
3.      Perubahan waktu dan gerak manusia. Akibat teknik, manusia terlepas dari hakikat kehidupan. Sebelumnya waktu diatur dan diukur sesuai dengan kebutuhan dan peristiwa-peristiwa dalam hidup manusia, sifatnya alamiah dan kongkrit. Tetapi sekarang waktu menjadi abstrak dengan pembagian jam, menit dan detik. Waktu hanya mempunyai kuantitas belaka tidak ada nilai kualitas manusiawi atau sosial, sehingga irama kehidupan harus tunduk kepada waktu yang mengkanistis dengan mengorbankan nilai kualitas manusiawi dan nilai sosial.
4.      Terbentuknya suatu masyarakat massa. Akibat teknik, manusia hanya membentuk masyarakat massa, artinya ada kesenjangan sebagai masyarakat kolektif. Hal ini dibuktikan bila ada perubahan norma dalam masyarakat maka akan muncuk kegoncangan. Masyarakat kita masih memegang nilai-nilai asli(primordial) seperti agama atau adat istiadat secara ideologis, akan tetapi struktur masyarakat atau pun dunia norma pokoknya tetap saja hukum ekonomi, politik atau persaingan kelas. Proses sekularisasi sedang berjalan secara tidak disadari. Proses massafikasi yang melanda kita dewasa ini, telah menghilangkan nilai-nilai hubungan sosial suatu komunitas, padahal individu itu perlu hubungan sosial. Terjadinya akibat hilangnya nilai-nilai hubungan sosial.
Yaitu kegagalan adaptasi dan penggantian relasi-relasi komunal dengan relasi yang bersifat teknis. Struktur sosiologis massal dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan teknik dan kebijaksanaan ekonomi (produk industri), yang melampaui kemampuan manusia.
5.      Teknik-teknik manusiawi dalam arti ketat.
Artinya,teknik-teknik manusiawi harus memberikan kepada manusia suatu kehidupan manusia yang sehat dan seimbang, bebas dari tekanan-tekanan. Teknik harus menyelaraskan diri dengan kepentingan manusia bukan sebaliknya. Melalui teknik bukan berarti menghilangkan kodrat manusia itu sendiri, tetapi perlu memanusiakan teknik. Manusia bukan objek teknik tetapi sebagai subjek teknik.
Kondisi sekarang sering manusia itu menjadi objek teknik dan harus selalu menyesuaikan diri dengan teknik.
Akibat kondisi yang dipaparkan tadi, dampak teknik itu sendiri bagi manusia sudah dirasakan dan fnomenanya nampak. Seperti : anggapan para ahli teknik bahwa manusia hanyalah mitos abstrak, manusia mesin (manusia mengadaptasikan diri kepada mesin), penerapan teknik memecah belah manusia (tidak ada kesempatan mengembangkan kepribadiannya),timbul kemenangan pada alam tak sadar, simbol-simbol tradisional diganti dengan teknik, terbentuknya manusia massa (gaya hidup dibentuk oleh iklan) dan nampak teknik sudah mendominasi kehidupan manusia secara menyeluruh.
      Adapun Alvion Toffler (1970) mengumpamakan “teknologi” itu sebagai mesin yang besar atau sebuah akselerator (alat mempercepat) yang dahsyatnya, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan bakarnya. Dengan meningkatnya ilmu pengetahuan secara kuantitatif dan kualitatif, maka kian meningkat pula proses akselerasi yag ditimbulkan oleh mesin pengubah, lebih-lebih teknologi mampu menghasilkan teknologi yang lebih baik banyak dan lebih baik lagi.
      Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan bagian-bagian yang dapat dibeda-bedakan, tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan dari suatu sistem yang berinteraksi dengan sistem-sistem lain dalam kerangka nasional seperti kemiskinan. Maka ada interrelasi, interaksi, dan interdependensi antara kemiskinan dan sistem atau subsistem “ilmu pengetahuan dan teknologi”.
      Saat ini sudah dikonstantasi, bahwa negara-negara teknologi mau telah memasuki   tahap superindustrualisme, melalui inovasi teknologi tida tahap : (a) ide kreatif, (b) penerapan praktisnya, dan (c) difusi atau penyebarluasan dalam masyarakat. Ketiga tahap ini merupakan siklus yang menimbulkan bermacam-macam ide kreatif baru sehingga merupakan reaksi berantai yang disebut proses perubahan.
      Denga semakin meningkatnya teknologi, tempat proses perubahan itu tidak dapat dipandang “normal” lagi, dan tercapailah akselerasi ekkstern maupun intern (psikologis) yang merupakan kekuatan sosial yang kurang mendalam dipahami.
      Dalam hal akselerasi, apabila masa depan itu menyerbu masa kini dengan kecepatan yang terlampau tinggi, maka masyarakat atas dapat mengidap penyakit “progeria:, yakni tingkat menua yang lanjut sekaligus secara kronologis usianya belum tua. Bagi masyarakat semacam itu, perubahan tersebut seolah-olah tidak dapat dikendalikan lagi, kemudian pula akan timbul future shock atau “kejutan masa depan”, yaitu sesuatu penderitaan fisik dan atau mental yang timbul apabila sistem adaptif fisik dari organisme manusia itu, berserta proses pembuatan keputusannya, terlampau banyak dilewati daya dukungnya.
      Akselerasi perubahan secara drastis dapat mengubah mengalirkan “situasi”, dalam hal ini situasi dapat dianalisi menurut lima komponen dasar, yaitu (1) benda, (2) tempat, (3) manusia, (4) organisasi dan (5) ide. Hubungan kelima komponen itu, ditambah dengan faktor waktu, membentuk kerangka pengalaman sosial.
      Menurut Toffler ada kekuatan lain yang dapat mengubah wajah dan eksistensi manusia selain akselerasi, yaitu transience (keadaan yang bersifat sementara). Transience merupakan alat kasar yang berguna dalam mengukur laju mengalirnya situasi, dan menjembatani teori-teori sosiologis tentang perubahan dan psikologi insasi perseorangan. Masyarakat, menurut transience, dibagi ke dalam dua kelompok : (1) high transience dan (2) low transience. Eksplorasinya mengenai kehidupan masyarakat high transience menghasilkan ringkasan sebagai berikut :
a.       Benda: hubungan “manusia-benda” tidak awet, dan masyaraktnya merupakan masyarakat pembuang. Bandingkan, misalnya , pulpen bertinta yang “permanen” dengan ball point yang dibuang setelah habis.
b.      Tempat: hubungan “manusia-tempat” menjadi lebih sering, lebih rapuh, dan lebih sementara : jarak fisik semakin tidak berarti, masyarakat amat mobil penuh dengan “normad baru”. Secara kiasan, “tempat” pun seolah-olah cepat terpakai habis, tak berbeda dengan, mislanya, minuman dalam kaleng.
c.       Manusia: hubungan “manusia-manusia” pun pada umumnya menjadi sangat sementara dan coraknya fungsional. Kontak antara manusia tidak menyangkut keseluruhan personalitas, melainkan bersifat dangkal dan terbatas ; secara kiasan terdapat “orang yang dapat dibuang”
d.      Organisasi: organisasi ada kecendrungan menjadi superbirokrasi di masa depan. Manusia dapat kehilangan individualitas dan personalitasnya dalam mensin organisasi yang besar, namun hakikatnya sistemnya sendiri telah banyak mengalami perubahan. Hubungan “manusia-organisasi” pun seolah-olah menjadi mengalir beraneka ragam, menjadi sementara, baik hubungan formalnya (departemen, bagian , klub, dsb) maupun informalnya (klik, kelompok minum kopi, dsb). Banyak cara :proyek:, “kelompok task force”, dsb, yang semuanya pada hakikatnya merupakan “kelompok ad hoc” atau hanya untuk keperluan khusus.
e.       Ide: hubungan “manusia-ide” bersifat sementara karena ide dan image timbul dan menghilang dengan lebih cepat. Gelombang demi gelombang ide menyusupi hampir segala bidang aktivitas manusia.
Semula ciri-ciri akselerasi dan transience yang semakin tinggi pada masyarakat yang semakin maju teknologinya, menyebabkan seolah –olah satu-satunya yang tetap adalah perubahan, meliputi perubahan nilai operasional, fungsi dan keahlian, yang sifatnta mengganti, mengubah, menambah, menyusun, menghapus, dan menguatkan. Kesemuanya merupakan bahan pertimbangan dalam proses ahli teknologi, bagaimana apakah ada relevansinya dengan kebutuhan masyarakat, ada keserasian dengan cara hidup, mudah-tidaknya dalam penerapan, dan memberikan keuntungan atau tidak secara nyata. Oleh karena itu, perlu diperhatikan tigaruang dimensi yang meliputi bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan bidang alam, ekonomi, sosial-budaya, serta bidang politik, yang ketiganya saling berhubungan.
            Ketentuan-ketentuan di atas menjelaskan bahwa teknologi dalam situasi tertentu dapat tidak netral lagi karena mengandung potensi merusak dan potensi kekuasaan. Teknologi bersifat ambivalen, disamping segi yang positif, juga memperlihatkan yang negatif, terkadang dianggap suci demi tujuan akhir, bukan sebagai alat lagi. Oleh karena itu teknologi membutuhkan bimbingan moral atau ajaran-ajaran agama, menentukan apa yang harus dan apa yang jangan di lakukan. Kebudayaan teknik dijadikan suatu strategi yang mengajak semua orang berpartisipasi, bukan seorang tahanan dalam kurungan daya-daya teknik. Etika, moral, dan ajaran agama menerobos teknis, membuka suatu dimensi transenden, mengatasi imanensi sebagai strategi kebudayaan dengan evaluasi kritis dan tanggung jawab. Bagaimana manusia bertanggung jawab terhadap hasil teknologi modern, berdasarkan “interaksi” hubungan timbal-balik antara kesadaran etis dan masalah-masalah kongkret.
            Untuk itu semua diperlukan counter play yang sejati, bersifat normatif bagi manusia. Tuhan, keadilan dan perikemanusiaan, hendaklah mulai berfungsi dalam situasi manusia yang kongkret, artinya jelas, langsung dapat dilihat, menyangkut hal urgen, berpijak pada kenyataan. Demikian pula pandangan terhadap teknologi harus menekankan pada keserasian antara teknologi dan kepentingan manusia dan integrasi ekosistem. Hal ini dapat berlangsung dengan cara : (1) memberikan banyak alternatif pilihan teknologi. (2) adanya interaksi yang serasi antara manusia, mesin-mesin dan biosfer. Agar sistemekonomi terpelihara, (3) teknologi harus baik secara termodinamis demi tercapainya keseimbangan energi, ekonomi dan ekologis, (4) teknologi harus menompang hidup manusia bukan sebaliknya. Pandangan ini dikenal dengan pandangan “appropriate technology” (penyediaan teknologi) menurut konsepnya E.F Scumacher (1979). Pandangan sebelumnya terhadap teknologi adalah anarki teknologi (technological anarchy), yang memandang teknologi serba baik.
            Pandangan ini kemudian bergeser menjadi cinta akan teknologi (technophilia), kemudian menjadi oandangan kekecewaan terhadap teknologi (technophobia). Pandangan ini berubah secara bertahap, meskipun dalam kenyataan negara-negara berkembang terdesak oleh keadaan sosial ekonomi yang mengkhawatirkan, sering dihadapkan kepada masalah bagaimana pandangan yang tepat bagi negaranya dapat diterapkan, Alternatif untuk mengatasi masalah demikian, dikembangkan apa yang disebut dengan “teknologi tepat guna”. Teknologi tepat guna atau appropriate technology adalah pengembangan teknologi yang sesuai dengan situasi budaya dan geografis masyarakat, penentuan teknologi sendiri sebagai suatu identitas budaya setempat serta menggunakan teknologi dalam proses produksi untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan dasar dan bukan barang-barang objek ketamakan.
            Teknologi tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi barat, yang sering masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau sekelompok yang bermodal besar. Ciri-ciri teknologi barat tersebut adalah :
1.      Serba intensif dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga kerja dan lain-lain, sehingga lebih akrab dengan kaum elit dari pada dengan buruh itu sendiri.
2.      Dalam struktur sosial, teknologi barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan.
3.      Kosmologi atau pandangan teknologi barat adalah : menganggap dirinya sebagai pusat yang lain feriferi, waktu berkaitan dengan kemajuan secara linier, memahami realitas secara terpisah dan berpandangan manusia sebagai tuan atau mengabil jarak dengan alam.

3.Ilmu pengetahuan Teknologi dan Nilai
            Ilmu pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu pengetahuam dan teknologi.
            Penerapan ilmu pengetahuan khususnya teknologi sering kurang memperhatikan masalah nilai, moral atau segi-segi manusiawinya. Keadaan demikian tidak luput dari falsafah pembangunannya itu sendiri, dalam menentukan pilihan antara orientasi produksi dengan motif ekonomi yang kuat, dengan orientasi nilai yang menyangkut segi-segi kemanusiaan yang terkadang harus dibayar lebih mahal.
            Masalah ini kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, manyangkut perdebatan sengit dalam menduduk perkarakan nilai dalam kaitannya dengan ilmu dan teknologi. Sehingga kecendrungan sekarang ada dua pemikiran yaitu : yang menyatakan ilmu bebas nilai dan yang menyatakan ilmu tidak bebas nilai. Sebenarnya yang penting dalam permasalahan itu dapat dinyatakan. Sikap lain terhadap permasalahan ini ada yang menyatakan kita tidak perlu mengaitkan antara ilmu dan nilai. Pendapat yang terakhir ini, kurang dapat dipertanggung jawabkan, mengingat nilai atau moral merupakan hal yang mendasar dalam kehidupan manusia, dan kita sudah merasakan dan melihat akibat tidak terkaitnya nilai atau moral dengan ilmu pengetahuan atau teknologi.
            Ilmu dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai paradigma etika (jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai proses karena itu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang berusaha memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau kelompok.
            Apa yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan seperti sekarang ini, merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu selain universal, komunal, juga alat menyakinkan sekaligus dapat skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
            Istilah ilmu di atas, berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh melalui kegiatan metode ilmiah atau epistemologi. Jadi, epistemologi merupakan pembahasan bagaimana mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam kegiatan metode ilmiah. Metode ilmiah adalah kegiatan menyusun tubuh pengetahuan yang bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau menguji kebenarannya secara aktual, sehingga kegiatannya disingkat menjadi logis-gipotesis-verifikasi atau deduksi-hipotesis-verifikasi. Sedangkan pengetahuan adalah pikiran atau pemahaman di luar atau tanpa kegiatan metode ilmiah, sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman berdasarkan akal sehat ( common sense) yang disertai mencoba-coba, intuisi ( pengetahuan yang diperoleh tanpa penbalaran) dan wahyu (merupakan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada para nabi atau utusannya).
            Ilmu pengetahuan pada dasarnya memiliki tida komponen ppenyangga tubuh pengetahuan yang disusun yaitu : ontologis, epistemologis, danaksiologis. Epistemologis seperti diuraikan di muka, hanyalah merupakan cara bagaimana materi pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan.
Ontologis dapat diartikan hakikatnya apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya. Atau dengan kata lain ontologis merupakan objek formal dari suatu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan. Ketiga komponen ontologis, epistemologis dan aksiologis tersebut erat kaitannya dengan nilai atau nilai moral.
            Komponen ontologis kegiatannya adalah menafsirkan hikayat realitas yang ada, sebagaimana adanya (das sein), melalui desuki-desuki yang dapat diuji secara fisik. Artinya ilmu harus ebas dari nilai-nilai yang sifatnya dogmatik. Ilmu menurut pendekatanontologis adalah pembebasan doga-dogma. Hal ini dibuktikan oleh kasus Galileo (1564-1642) yang menolak dogma agama yang menyatakan “matahari berputar mengelilingi bumi”, sebab pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hakikatnya yang ada atau fakta sebagaimana ditemukan Copernicus (1473-1543) bahwa bumilah yang mengelilingi matahari. Sifat-sifat dogmatik inilah yang harus dijauhi dalam argumentasi ilmiah. Jalan pikiran kita sampai kepada ilmu pengetahuan itu sebagai alat untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan harapan (das sollen) dengan jalan mempelajari sebagaimana adanya (das sein). Di sinilah, letak kaitannya ilmu dengan moral atau nilai dari pendekatan ontologis.
            Komponen epistemologis berkaitan dengan nilai atau moral pada saat proses logis-hipotesis-verifikasi. Sikap moral implisit pada proses tersebut. Asas moral yang terkait secara ekplisit yaitu kegiatan ilmiah harus ditunjukan kepada pencarian kebenaran dengan jujur tanpa mendahulukan kepentingan kekuatan argumentasi pribadi.
            Komponen aksiologis artinya lebih lengket dengan nilai atu moral, dimana ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan demi kemaslahatan manusia. Ilmu adalah bukan tujuan tetapi sebagai alat atau sarana dalam rangka meningkatkan taraf hidup manusia, dengan memperhatikan dan mengutamakan kodrat dan martabat manusia serta menjaga kelestarian lingkungan alam.
            Uraian kaitan ilmu dengan nilai diatas, memperlihatkan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Adapun ilmu bebas nilai, maksudnya suatu tuntutan yang ditunjukan kepada semua kegiatan ilmiah atas dasar hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri (Melsen, 1985). Permasalahan ini kompleks, mereka yang mendukung bebas nilai didasarkan atas niali khusus yang diwujudkan ilmu pengetahuan. Asumsi mereka bahwa itu dikejar secara murni dengan mengorbankan nilai-nilai lain seperti menyangkut segi-segi kemanusiaan.
            Pembicaraan selanjutnya adalah kaitan teknologi dan nilai. Namun sebelumnya, perlu menelusuri kaitan ilmu dan teknologi sebelum memahami kaitan teknologi dan nilai. Seperti kita maklumi,selain ilmu dasar ada juga ilmu terapan. Tujuan ilmu terapan ini adalah untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah-masalah praktis, sekaligus memenuhi kebutuhannya. Tentu saja ilmu terapan ini banyak alternatif-alternatif dan perlu dialihragamkan (transformasikan) menjadi bahan,atau peranti, atau prosedur, atau teknik pelaksanaan suatu proses pengolahan menjadi mudah dimanfaatkan manusia dan melaksanakan produksi massal. Tindak lanjut dan hasil seperti demikian (hasil kegiatan ilmu terapan) inilah yang disebut teknologi. Apa pun arah dan kepada siapa diterapkannya teknologi, bergantung dari si penguasa teknologi dan nilai atau moral yang dimilikinya.
            Kaitan ilmu dan teknologi dengan nilai atau moral, berasal dari akses penerapan ilmu dan teknologi sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi dua golongan :
1.      Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun secara aksiologis, soal penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan lainnya dikorbankan demi teknologi
2.      Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu bersifat netral hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asas moral atau nilai-nilai, golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui akses-akses yang terjadi apabila ilmu dan teknologi disalahgunakan.
Nampaknya ilmuwan golongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga ilmuwan terbebas dari kecendrungan “pelacuran” dibidang ilmu dan teknologi, dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
            Dampak dari perkembangan pesat ilmu dan teknologi lebih banyak dirasakan di negara-negara dunia ketiha (berkembang), dirasakan ilmu dan teknologi menguasai manusia,kebudayaan dan alam sendiri.
            Sistem-sistem teknologi yang dikendalikan oleh kelompok asing, telah dengan seenaknya mengubur dan mematikan kekuatan kerajinan rakyat tradisional. Kebudayaan tradisional dan nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi, sedikit demi sedikit luntur akibat perkembangannya ilmu dan teknologi.
            Kearifan masyarakat tradisional dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungan alam, dirusak oleh kebijaksanaan eksploitasi yang dimotivasi oleh ilmu dan kecanggihan teknologi.
            Rangkaian pengembangan ilmu dan teknologi yang dimulai dengan : penelitian dasar, penelitian terapan, pengembangan teknologi dan penerapan teknologi, mau tidak mau harus dilanjutkan dengan evaluasi ethis-politis-religius. Alvin Toffler (1970), mengatakan jangan menyepelekan anjuran pengendalian teknologi melalui filter kelembagaan. Masyarakat seperti nilai dan moral, sebab kurangnya kendali demikian kosekuensinya jauh lebih buruk. Upaya untuk menjinakan teknologi di antaranya :
1.      Mempertimbangkan atau kalau perlu mengganti kriteria utama dalam menolak atau menerapkan suatu inovasi teknologi yang didasarkan pada keuntungan ekonomis atau sumbangannya kepada pertumbuhan ekonomi.
2.      Pada tingkat konsejuensi sosial, penerapan teknologi harus merupakan hasil kesepakatan ilmuan sosial dari berbagai disiplin ilmu.
4.KEMISKINAN
            Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok, dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dll. (Emil Salim, 1982).
            Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa, dan motivasi fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur.
            Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, bisa dipengaruhi oleh tiga hal :
(1)   Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia dalam lingkungan sekitar,dan (3) kebutuhan objektif manusiauntuk bisa hidup secara manusiawi.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan di pengaruhi oleh tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal ini garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Terhadap posisi manusia dalam lingkungan sosial, bukan ukuran kebutuhan pokok yang menentukan, melainkan bagaimana posisi pendapatannya ditengah-tengah masyarakat sekitarnya. Kebutuhan objektif manusia untuk bisa hidup secara manusiawi ditentukan oleh komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan nilai protein dan kalori cukup sesuai dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan yang dialaminya.
            Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa dan tertuangkan dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang diperlukan, sehingga garis kemiskinan ditentukan oleh tingkat pendapatan minimal (versi Bank Dunia dikota 75 dollar AS, dan di desa 50 dollar AS per jiwa setahun, 1973). Menurut prof. Sayogya (1969), garis kemiskinan dinyatakan dalam rp/tahun, ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/bulan, yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan untuk kota 480 kg/orang/tahun).
            Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, keterampilan, dsm.
b.      Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c.       Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
d.      Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja.
e.       Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunya keterampilan.
Kemiskinan menurut orang lapangan (umum) dapat dikategorikan dalam tiga unsur: (1) kemiskinan yang disebabka handicap badaniah ataupun mental seseorang. (2) kemiskinan yang disebabkan oleh bencana alam, dan (3) kemiskinan buatan. Yang relevan dalam hal ini adalah kemiskinan buatan, buatan manusia terhadap manusia pula yang disebut dengan kemiskinan struktural. Itulah kemiskinan yang timbul oleh dan dari struktur-struktur (buatan manusia), baik struktur ekonomi, politik, sosial, maupun kultur.
            Kemiskinan buatan ini, selain ditimbulkan oleh struktur ekonomi,politik,sosial, dan kultur, juga dimanfaatkan oleh sikap “penenagan” atau “nrimo”, memandang kemiskinan sebagai nasib, malahan sebagai takdir Tuhan.
            Kemiskinan menjadi suatu kebudayaan (culture of provierty) atau suatu subkultur, yang mempunyai struktur dan way of  life yang telah menjadi turun-temurun melalui jalur keluarga. Kemiskinan (yang membudaya) itu disebabkan oleh dan selama proses perubahan sosial secara fundamental, seperti transisi dari feidalisme ke kapitalisme, perubahan teknologi yang cepat, kolonialisme,dsb. Obatnya tidak lain adalah revolusi yang sama radikal dan meluasnya.
            Karena kemiskinan diantaranya disebabkan oleh struktur ekonomi, maka terlebih dahulu memahami inti pokok suatu “struktur”. Inti pokok dari struktur adalah realisasi hubungan antara suatu subjek dan objek, dan antara subjek-subjek komponen-komponen yang merupakan bagian suatu sistem. Maka permasalahan struktur yang penting dalam hal ini adalah pola relasi. Ini mencakup masalah kondisi dan posisi komponen (subjek-subjek) dari struktur yang bersangkutan dalam keseluruhan tata susunan atau sistem dan fungsi dari subjek atau komponen tersebut keseluruhan fungsi dan sistem.
            Pola relasi dari struktur ini, yang urgen adalah struktur dalam soal sosial-ekonomi meskipun struktur lainnya menentukan pola dalam rlasi struktur sosial ekonomi ini dapat diuraikan sebagai berikut :
a.       Pola relasi antara manusia (subjek) dengan sumber-sumber kemakmuran ekonomi seperti alat-alat produksi, fasilitas-fasilitas negara, perbangkan, dan kekayaan sosial. Apakah ini dimiliki, deisewa, bagi-hasil, gampang atau sulit bagi oleh subjek tersebut.
b.      Pola relasi antara subjek dengan hasil produksi . ini menyangkut masalah distribusi hasil, apakah memperoleh apa yag diperlukan sesuai dengan kelayakan derajat hidup manusiawi.
c.       Pola relasi antara subjek atau komponen-komponen sosial-ekonomi dalam keseluruhan mata rantai kegiatan dengan bantuan sistem produksi.
Dalam hal ini adalah mekanisme pasar, bagaimana posisi dan peranan manusia sebagai subjek dalam berfungsinya mekanisme tersebut.
            Secara analog dapat ditentukan pola-pola relasi dalam bidang ekonomi. Kesemuanya merupakan substruktur atau subsistem dari struktur dan sistem kemasyarakatan yang berlaku yang mendasari masalah-masalah kemiskinan. Dengan demikian kemiskinan berkaitan langsung dengan sistem kemasyarakatan secara menyeluruh, dan bukan hanya masalah ekonomi atau politik atau sosial-budaya. Maka penanganannya harus berlangsung secara komprehensif, dengan suatu strategi yang mengandung kaitan-kaitan dari semua aspek dan perikehidupan manusiawi. Bisa dimulai dengan resep ekonomi, kemudian ditunjang oleh tindakan sosial dan politis yang nyata, dengan intervensi pemerintah dan kesadaran manusia miskin itu sendiri, tidak bersikap nrimo dan tidak bersikap ngelect atau tidak mau tahu tentang kemiskinan.
            Kalau kita menganut teori fungsionalis dari statifikasi (tokohnya Davis), maka kemiskinan pun memiliki sejumlah fungsi yaitu :
1.      Fungsi ekonomi : penyediaan tenaga untuk pekerjaan tertentu, menimbulkan dana sosial, membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas (masyarakat pemulung).
2.      Fungsi sosial : menimbulkan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan merangsang munculnya badan amal.
3.      Fungsi kultural : sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya saling mengayomi antar sesama manusia.
4.      Fungsi politik : berfungsi sebagai kelompok gelisah atau masyarakat marginal untuk musuh bersaing bagi kelompok lain.
Walaupun kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut. Tetapi, karena kemiskinan berfungsi maka harus dicarikan fungsi lain sebagai pengganti.






REFRENSI :
e-learning gunadarma



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BAGIAN BAGIAN PERSONAL KOMPUTER

KLASIFIKASI MEDIA

KONSEP DASAR TEKNOLOGI INFORMASI DAN MULTIMEDIA